Figur
Action and Function in Dellution

Oleh : Supriyadi
Dari sekian banyak organisasi ke-mahasiswaan, HIMATANGBAR merupakan salah satu organisasi primordial yang terus berupaya secara konsisten dalam merealisasikan eksistensi mahasiswa dengan aksi dan fungsinya di masyarakat. Sebagaimana tertuang dalam AD (anggaran dasar) HIMATANGBAR pasal 4 dan 6, tentang tujuan dan fungsi organisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan kembali diadakannya acara kaderisasi yang ke-4 kalinya. Acara kaderisasi itu biasa disebut PEREKAT (perekrutan kader dan ta'aruf).
Yang ingin mengetahui lebih jauh tentang PEREKAT, silahkan buka website kita di mahasiswatangbar.wordpress.com.
Saat ini, tidak sedikit dari kita mempertanyakan eksistensi mahasiswa dalam kancah masyarakat. Padahal, kalau kita mau flash back, mengingat kembali dan mau membaca buku-buku sejarah, kita akan menemukan rentetan kejadian yg melibatkan mahasiswa sebagai aktor utama dalam gerakan pembaharuan yang terjadi di kancah nasional maupun internasional, dalam bidang politik hingga isu-isu teologik.
Dalam kancah nasional misalnya, bagaimana semangat para intelek muda atau mahasiswa dengan bahasa eufemisme-nya mampu memompa semangat masyarakat Indonesia dari tidur panjangnya untuk merebut kemerdekaan dari para penjajah di negeri ini, mampu menggulingkan kediktatoran orde lama ke-orde baru. Tak hanya itu, mahasiswa juga mengilhami terjadinya revolusi nasional yang ditandai dengan lahirnya era reformasi.
Dalam skala lebih luas, kita mengenal Revolisi Prancis yang terjadi pada tahun 1789. Monarki absolut yang telah memerintah Perancis selama berabad-abad runtuh dalam waktu tiga tahun. Rakyat Perancis mengalami transformasi sosial politik yang epik; feodalisme, aristokrasi, dan monarki mutlak diruntuhkan oleh beberapa orang intelektual dan masyarakat Prancis yg tidak puas terhadap kepimimpinan Louis XVI. Dan kemudian digantikan oleh Napoleon Bonaparte. Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).
Berangkat dari rentetan sejarah tersebut, wajar kiranya kita bertanya tentang eksistensi mahasiswa saat ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti: kemana kaum intelektual muda atau mahasiswa saat ini? Apkah mereka tidak lagi memikirkan khalayak banyak disekitarnya? Benarkah mereka hanya memikirkan nilai akademis dan pribadinya sendiri? Bagaimana bentuk jargon "agen of change" saat ini?.
Dari beberapa pertanyaan tersebut, bisa saja kita simpulkan bahwa; Benarkah fungsi mahasiswa saat ini telah berubah, dari kritis ke hedonis? Dari demokratis ke apatis?.
Tak dapat dipungkiri bahwa sifat hedonis tengah melanda mahasiswa saat ini. Terbukti dengan menjamurnya ribuan café, warung kopi, dan tempat-tempat “nongkrong” dibergai tempat. Yang lebih mencengangkan tempat-tempat tersebut hadir di lingkungan kampus, bahkan sampai ke dalam kampus. Pemandangan seperti ini sangat ironis jika kita mendengar cerita senior saya, bahwa rentetan tempat nongkrong tersebut dahulunya adalah toko-toko buku. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa saat ini lebih memilih pergi ke tempat nongkrong dibanding mencari buku.
Merebaknya kegiatan nongkrong bukan sekedar berhubungan dengan pandangan moralistik yang melihat kegiatan ini sebagai hal yang "morally inferior". Namun hadir sebagai life-style baru yang ada di kampus-kampus terkait dengan corak ekonomi mahasiswa sebagai masyarakat urban. Kelas ini mempunyai daya beli yang lebih baik untuk sekedar menikmati "leisure time", waktu senggang, di tempat-tempat nongkrong.
Dalam kehidupan masyarakat urban, mereka menjalaninya bukan sekedar fakta saja, namun lebih kepada sebuah fantasi. Seperti teorinya Ben Anderson tentang “masyarakat yang dibayangkan” (imagined communities). Gaya hidup estetis terjadi saat seseorang menjalani sebuah kehidupan seraya membayangkan bahwa ia menjadi bagian dari komunitas estetis tertentu yang berada dalam bayangan saja. A virtual life. Bahayanya, gejala ini secara otomatis menyerang kalangan mahasiswa, terutama kampus-kampus yang ada di kota-kota besar.
Seorang mahasiswa yang nenggunakan HP (hand phone), ia menggunakannya bukan sekedar alat untuk berkomunikasi atau alat bantu dalam menyelesaikan tugas kuliah. Namun, ia seakan sedang nembayangkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat kelas sosial yang menikmati gaya hidup estetis. Begitu juga dengan alat-alat penunjang lain seperti: laptop, pakaian dan jam tangan. Jam tangan sendiri dipakai bukan untuk sekedar menandai waktu (tell the time), tapi untuk kepentingan life-style.
Sepeti apa yang dikatakan dalam bukunya Yuva Harari (sejarawan asal Israel), Sapiens: A Brief History of Humankind, Ia menjelaskan bahwa, salah satu ciri spesies manusia bernama homo sapiens (manusia bijak) adalah kemampuannya untuk hidup dalam dua lapisan kenyataan; kenyataan natural yang riil, dan kenyataan fiksional melalui sebuah bayangan tertentu yang ia buat sendiri.
Kecenderungan estetisasi kehidupan dalam masyarakat terkait dengan kemampuan manusia sebagai makhluk yang mampu menciptakan sebuah "fiction-making being". Ketika nongkrong di cafe-cafe mewah misalnya, selain minum kopi dan makan, sambil "sightseeing" (cuci mata), seraya mencari-cari wajah yang "seemly", enak dipandang. mereka tak hanya sekedar nongkrong, namun sambil membayangkan mereka adalah bagian dari masyarakat dunia.
Gejala yang timbul sabagai akibat dari kegiatan ini adalah kegiatan "menonton" orang lain dari sebuah jarak dimana orang-orang yang ia tonton juga sedang menjalani kehidupan estetis yang sama. Yang lebih menarik kemudian adalah ia juga menyadari bahwa dirinya menjadi sasaran pamdangan orang lain. Dia sadar sebagai "seeing being" dan "beeing seein", melihat dan dilihat sekaligus. Gejala estetisasi kehidupan dalam masyarakat ini terutama terjadi pada mahasiswa, menajadikannya sebagai sebuah kegemaran yang nyaris pathetic dan dibuatnya sebagai objek tontonan (spectacle). Dan setiap orang adalah spectator, penonton.
Gejala ini menjadi sebuah "syndrom" yang seharusnya disadari mahasiswa sebagai seorang intelektual muda. Karena selain mengandung konsekwensi rusaknya moral, juga bisa menghilangngkan jiwa sosial yang sudah terpupuk sedari kecil. Seorang penonton tak ingin terlibat dan tenggelam terlalu dalam pada objek yang ia tonton, ia tetap menjadi spectator dari kejauhan.
Sebuah pemandangan yang pathetic ketika seorang mahasiswa yang mengetahui tetangganya sedang mengalami kebakaran rumah dan ia malah sibuk mengambil gambarnya, lalu mengunggahnya di media sosial. Ia merasa telah cukup menyatakan keterlibatan emosionalmya dengan mengirimkan gambar tersebut di jejaring sosial seperti: facebook, twitter, instagram, BBM atau platform lainnya, yang menurut dia hal tersebut telah membuatnya merasa bertanggung jawab sebagai manusia yang bermoral.
The ethics of distance, etika memandang segala sesuatu dari sebuah jarak ini bukan saja menandai gaya hidup baru dalam mahasiswa, namun secara lebih luas juga terjadi di masyarakat perkotaan. Semua orang cenderung menjadi “voyeur”, subyek yang melihat, dan melahirkan gejala voyeurism , kemenglihatanisme.
Semoga, hadirnya HIMATANGBAR sebagi organisasi kemahasiswaan, menjadi sebuah auto critict bagi organisasi-organisasi yang ada di Tangerang khususnya, dalam upaya melestarikan budaya intelektual. Juga mampu membawa angin segar dan bisa menjadi sebuah enlightenment, pencerahan terhadap masyarakat umum secara komprehensip. Amin. (*)
Penulis Adalah
Pengurus Himatangbar

- 543 Warga Kronjo Terima Dana PSKS
- 15 Warga Kronjo Terjangkit DBD
- Warga Pagedangan Geruduk Parkir Aeon Mall
- Sebulan Polres Amankan 8,7 Kg Ganja
- Sidang PTUN Digelar di Jelupang