Banten

Aktivis Komunike Tangerang Utara sikapi UU Jalan 38 Tahun 2004

Administrator | Kamis, 21 Februari 2019

TELUKNAGA - Penataan ruang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR). Dalam Pasal 1 Butir 1 UUPR, Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 

Seperti di lansir dari pemberitaan media cetak #Tangerang Raya  terbitan  Rabu (20/2/2019), telah terjadi kegiatan acara Sidang yang digelar di ruang sidang 2 Pengadilan Negeri Tangerang terkait dugaan pelanggaran UU 26/2007 terkait penataan ruang menghadirkan saksi Camat Paku Haji Ujat Sudrajat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan terlapor TJS.
 
Abdullah Rizal, pelapor kasus ini memperkarakan bahwa terdakwa melanggar Pasal 69 Undang-Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Sebagai informasi, TJS diduga melanggar Pasal 69 dan Pasal 71 UU No 26/2007 tentang Tata Ruang dan diancam hukuman penjara tiga tahun dan denda Rp 500 juta.
 
Saksi Camat Paku Haji Ujat Sudrajat mengatakan, kewenangan izin dan pemanfaatan ruang adalah hak balai besar Cisadane di kawasan industri yang berada di sekitar Sungai Turi, Desa Laksana, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.

Camat Paku haji Ujat Sudrajat mengatakan, terkait jalan sepanjang 200 meter betonisasi atau cor dengan lebar 6 meter, menurut Ujat dirinya menerima surat dari DBMSDA Kabupaten Tangerang. Dirinya menelusuri izin terkait betonisasi jalan tersebut. Namun dirinya menemukan surat rekomendasi dari Kades Laksana dan UPT pengairan.

"Saya pernah tanya ke Kades Laksana, setelah saya lihat, itu berupa surat rekomendasi permohonan dari pelaku usaha ke Bina Marga Pengairan untuk penggunaan tanah itu," terangnya.

Ujat Sudrajat menyebutkan izin pemanfaatan bantaran dan sempadan sungai turi adalah kewenangan Balai Besar Sungai Cisadane.

Direktur Eksekutif Komunike Tangerang Utara Budi Usman menjelaskan, Pemkab Tangerang melalui Perda Tata ruang Nomor 13/2011 dan pemerintah Propinsi Banten sebenarnya telah terang benderang melalui Perda Nomor 5/2017 telah menerbitkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang mencangkup konsideran proteksi ketahanan pangan Kabupaten Tangerang.

Budi mengatakan, ada kewenangan dari regulasi terkait keberadaan Sungai Turi dan garis sepadan sungai tersebut yang tidak bisa diterbitkan izin oleh pemkab Tangerang dan Pemprov Banten. Ternyata  menjadi otoritas Balai Besar Jalan Kementrian PU untuk izin jalan atau dispensasi serta kewenangan Balai Besar Ciliwung Cisadane untuk pemanfaatan dalam kaitan dengan konsideran UU jalan nomor 38/2004.

Terkait pelaporan dugaan pelanggar UU penataan ruang, pihaknya sangat apresiasi kinerja Pemkab Tangerang yang sangat bersemangat untuk memproses dugaan kegiatan tersebut untuk penegakan regulasi.

Namun Aktivis Budi menyayangkan, pelaporan tersebut seharusnya melalui jalur persuasif seperti edukasi dan pembinaan perlindungan terhadap warga dan pelaku usaha. Idealnya sanksi administrasi atau pembongkaran jika benar terjadi pelanggaran pemanfaatan ruang dan jalan tersebut. 

"Namun, Pemkab begitu antusias melapor ke ranah pidana, beda sekali dengan standar pemberlakuan terhadap pelaku usaha atau koorporasi  yang marak membangun kegiatan dan bangunan liar sepanjang daerah aliran sungai di kawasan Kecamatan Sepatan Timur, Teluknaga dan Pakuhaji yang dibiarkan saja," tegasnya.

Menyoal adanya Laporan Pemkab terhadap pelaku usaha. Budi mengatakan tidak ada hal yang salah dalam rangkaian proses pengajuan pembangunan kontruksi betonisasi di sepadan Sungai Turi, Desa Laksana, Kecamatan Pakuhaji. Budi mengklaim, kenapa Pemkab Tangerang tidak mau menciptakan iklim sehat untuk investasi, justru pola pelaporan tersebut memberi implikasi negatif bagi warga dan pelaku usaha. Karena azas pemanfaatan ruang dan lalu lintas jalan betonisasi tersebut positif untuk kepentingan pekerja dan pelaku usaha.

Kalau memang pelaku usaha bersalah, beri saja edukasi dan perlindungan untuk perbaikan ke depan, bukan dengan saling mencari kesalahan malah akan menganggu pelayanan publik terhadap kegiatan hilir mudik warga, pelaku usaha dan pekerja. Ini kebijakan tendensius ?
 
"Belum adanya kegiatan sistimatis alih fungsi yang bertentangan dengan dugaan pelanggaran tata ruang dari kawasan hijau serta resapan air menjadi kuning dan abu-abu, seperti istilah standar ganda ini menimbulkan apatisme ketidak percayaan publik terhadap konsistensi pemkab terhadap penegakan regulasi tata ruang," tandas Budi.

Dalam hal ini Pemkab Tangerang melalui Dinas Bina Marga dan SDA Kabupaten Tangerang terlihat secara jelas melakukan upaya represif dengan segera menempuh jalur hukum pada setiap warga yang belum memenuhi proses perizinan. 

"Hal ini menyimpangi ketentuan yang tertuang dalam UU 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik yang mana asas kemanfaatan, akuntabilitas dan profesionalitas yang harus dijunjung tinggi serta penghormatan terhadap hak-hak sipil warga negara," ujar Budi.

Sejalan dengan itu ketentuan Pasal 63 UU No. 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa setiap sengketa penataan ruang yang timbul diselesaikan secara musyawarah. Kita menyayangkan bila semua kekurangan izin dan regulasi  tidak lagi dibina melainkan diselesaikan melalui pemidanaan.  

"Kita sepakat percepatan pembangunan harus tetap dilakukan terus untuk mendokrak percepatan pertumbuhan ekonomi. Namun juga perlu perlindungan terhadap rakyat dan pelaku usaha dalam rangka kampanye demi kedaulatan dan ketahanan pangan serta perlindungan lahan pertanian berkelanjutan yang lebih ekologis dan kapabel serta kita berdoa dan berharap segera terbitnya peraturan sehat buat warga kita kedepan generasi sekarang dan penerus yang selanjutnya yang identik dengan generasi gemilang dan berkeadilan bukan hanya lip service saja," pungkasnya. (PUT)